Pages

Jumat, 19 Oktober 2012

OTONOMI DAN PEMERINTAHAN ACEH Perjalanan Terbentuknya Undang-Undang tentang Pemerintahan Aceh


OTONOMI DAN PEMERINTAHAN ACEH
Perjalanan Terbentuknya Undang-Undang tentang
 Pemerintahan Aceh

         Konflik yang berkepanjangan dan datangnya damai di serambi mekkah telah memberikan peluang bagi Aceh di dalam membangun masa depan yang lebih baik, hadirnya UUPA telah memberikan peluang untuk membangun Aceh yang lebih baik di masa depan. Aceh diberikan kewenangan untuk memiliki beberapa kewenangan di dalam membangun pola hubungan dengan pemerintahan Indonesia, misalnya terkait dengan Pasal 8 di UUPA yang memerintahkan pemerintah pusat untuk melakukan negosiasi dan konsultasi dengan pemerintahan Aceh terkait dengan tiga hal yaitu:
          1)            Rencana persetujuan internasional yang berkaitan langsung dengan Pemerintahan Aceh yang dibuat oleh Pemerintah dilakukan dengan konsultasi dan pertimbangan DPRA.
          2)            Rencana pembentukan undang-undang oleh Dewan Perwakilan Rakyat yang berkaitan langsung dengan Pemerintahan Aceh dilakukan dengan konsultasi dan pertimbangan DPRA. Dan
          3)            Kebijakan administratif yang berkaitan langsung dengan Pemerintahan Aceh yang akan dibuat oleh Pemerintah dilakukan dengan konsultasi dan pertimbangan Gubernur. Disamping itu Pemerintah juga harus mendapat persetujuan Gubernur untuk mengangkat kepala Kepolisian di Aceh dan Kepala Kejaksaan.
 Disamping itu Aceh memiliki kewenangan-kewenangan di dalam pengelolaan sumber daya alam, misalnya tekait dengan pengelolan minyak dan gas bumi, dimana amanat dari Pasal 160 ayat (1) UU No. 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh yang menyatakan bahwa “Pemerintah dan Pemerintah Aceh melakukan pengelolaan bersama sumber daya alam minyak dan gas bumi yang berada di darat dan laut di wilayah kewenangan Aceh”.
Sejarah tentang terbentuknya uu pa tersebut adalah menurut beberapa pemikiran yaitu
Sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia menurut UUD 1945 mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus, atau bersifat istimewa. Kenyataan sejarah menunjukkan bahwa Aceh merupakan satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa terkait dengan salah satu karakter khas sejarah perjuangan masyarakat Aceh yang memiiiki ketahanan yang tinggi.
 Ketahanan dan daya juang yang tinggi itu bersumber dari pandangan hidup yang berlandaskan syariat Islam yang kuat sehingga Aceh menjadi daerah modal bagi perjuangan dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pandangan Hidup yang berlandaskan syariat Islam itulah yang kemudian dijadikan dan diberlakukan sebagai tatanan hidup dalam bermasyarakat saat ini.
Hal demikian kemudian menjadi pertimbangan penyelenggaraan keistimewaan bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh dengan Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999.[1]
Namun, dalam implementasinya, UU tersebut dipandang kurang memberikan keadilan di dalam kehidupan. Bagi masyarakat Aceh kondisi demikian belum dapat mengakhiri pergolakan masyarakat di Provinsi DI Aceh yang dimanifestasikan dalam berbagai bentuk reaksi. Respons Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat RI melahirkan salah satu solusi politik bagi penyelenggaraan persoalan Aceh, berupa Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 yang mengatur penyelenggaraan otonomi khusus bagi Provinsi DI Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
Dalam pelaksanaannya, undang-undang tersebut juga belum cukup memadai dalam menampung aspirasi dan kepentingan pembangunan ekonomi dan keadilan politik. Hal demikian mendorong lahirnya undang-undang tentang Pemerintahan Aceh dengan prinsip otonomi seluas-luasnya. Bencana alam, gempa bumi, dan tsunami yang terjadi di Aceh pada akhir Desember 2004, telah menumbuhkan solidaritas seluruh potensi bangsa untuk membangun kembali masyarakat dan wilayah Aceh. Begitu pula telah tumbuh kesadaran yang kuat dari Pemerintah dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) untuk menyelesaikan konflik secara damai, menyeluruh, berkelanjutan, serta bermartabat yang permanen dalam kerangka NKRI.
Dari uraian di atas, tampaklah bahwa penataan otonomi khusus di Aceh merupakan salah satu upaya meretas hadirnya sebuah keadilan dan pencapaian tujuan otonomi daerah dalam kerangka NKRI, yaitu mencapai kesejahteraan secara demokratis di Nanggroe Aceh Darussalam. Penandatanganan Nota Kesepahaman antara Pemerintah RI dan GAM pada tanggal 15 Agustus 2005 di Helsinki, menjadi pintu pembuka bagi kedamaian di Aceh. Walaupun pada awalnya, penandatangan MoU sempat mendapat reaksi pro dan kontra dari berbagai macam elemen masyarakat, namun pada akhirnya dengan segala kelapangan dada semua sepakat, bahwa perdamaian abadi harus diwujudkan di Aceh.
Ada enam butir utama isi Nota Kesepahaman yang telah dicapai yaitu: penyelenggaraan pemerintahan di Aceh; hak asasi manusia; amnesti dan reintegrasi ke dalam masyarakat; pengaturan keamanan; pembentukan Misi Monitoring Aceh (AMM) dan penyelesaian perselisihan. Setelah hampir semua butir-butir nota kepahaman dilaksanakan, maka penyusunan RUU Pemerintahan Aceh mendapat perhatian dari seluruh komponen masyarakat. Bagi masyarakat Aceh, yang menjadi pertanyaan adalah apakah butir-butir yang terdapat dalam Nota Kesepahaman segera dapat ditindaklanjuti dengan undang-undang, sedang bagi masyarakat di luar Aceh akan melihat sejauh mana keistimewaan atau kekhususan yang diberikan kepada masyarakat Aceh.
Kalau kita kembali mencermati proses perjalanan penyusunan dan pembahasan Rancangan Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UU-PA) dengan jelas terlihat segala upaya telah dilaksanakan secara serius dengan memperhatikan seluruh aspirasi masyarakat, khususnya yang berada di wilayah Aceh. Terlepas masih adanya kekurangan, namun semangat yang mendasari Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UU-PA) inilah yang patut menjadi acuan bersama, yakni membangun Aceh yang lebih berkeadilan, sejahtera, demokratis dan bermartabat.
UU Pemerintahan Aceh adalah undang-undang yang unik dalam proses penyusunannya, karena melibatkan berbagai elemen masyarakat Aceh secara luas, bahkan menarik perhatian dunia. Pihak-pihak yang turut berpartisipasi meliputi masyarakat Aceh yang berasal dari pemerintah daerah, kalangan LSM, akademisi, wanita, ulama, dan anggota GAM. Sebagai sebuah produk hukum baru yang lahir dari konsekuensi adanya perubahan kebijakan politik antara Pemerintah RI dan GAM, maka RUU ini harus dapat mengakomodasi tuntutan kedua belah pihak secara adil.
Pada awalnya, tak kurang dari enam versi naskah RUU PA didiskusikan di Aceh, yaitu dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Nanggroe Aceh Darussalam (DPRD NAD), Pemerintah Daerah (Pemda NAD), Universitas Syiah Kuala, Universitas Islam Negeri (IAIN) Arraniry, Acehnese Civil Society Task Force (ACSTF), dan dari GAM. DPRD NAD pun berinisiatif mengadakan serangkaian diskusi dan dialog dengan berbagai pihak untuk bersama-sama membicarakan RUU ini. Seluruh pihak yang mempunyai naskah RUU dan berkepentingan dengan RUU ini diundang untuk berdiskusi. Mulai dari kelompok ulama, sampai dengan organisasi perempuan di Aceh.
Melihat proses yang begitu dinamis dari berbagai pihak ini, timbul dorongan dari komponen masyarakat sipil untuk membentuk Tim Perumus Bersama yang terdiri dari berbagai komponen pemangku kepentingan dan bertugas menyepakati satu naskah bersama yang dapat mewakili berbagai elemen di Aceh untuk disampaikan ke Jakarta. Tanggal 22-30 November 2005 pun menjadi suatu fase penting dalam pembicaraan ini.
 Dalam kurun waktu seminggu tersebut terjadi perdebatan, tekanan, dan tarik menarik untuk mendorong adanya satu draf bersama dari Aceh. DPRD NAD dianggap sebagai pihak yang mempunyai kapasitas politik yang strategis untuk menjembatani proses partisipasi seperti ini, sehingga rapat paripurna DPRD NAD pun dijadikan momentum penting untuk menandai munculnya satu draf bersama ini. Pada malam 29 November 2005 terjadilah pembahasan yang intensif antara DPRD NAD, Pemda, berbagai komponen masyarakat sipil, dan GAM. Maka lahirlah draf keenam dari DPRD NAD yang secara maksimal berupaya mengakomodasi seluruh kepentingan peserta pembahas pada saat itu. Draf yang terdiri atas 38 Bab dan 209 pasal inilah yang diserahkan kepada Departemen Dalam Negeri (Depdagri) pada 30 November 2005. Setelah penyerahan secara resmi, diadakan pula berbagai diskusi formal dan informal antara berbagai lembaga dan komponen masyarakat di Aceh yang menyepakati RUU itu dengan berbagai lembaga politik di Jakarta untuk mendorong substansi yang telah disepakati bersama tersebut.
Sementara itu, ada tekanan yang tinggi mengenai batas waktu pembahasan. Pemerintah pada awalnya meminta agar ada naskah yang masuk pada Oktober 2005 agar tenggat waktu 31 Maret 2006 dapat dipenuhi. Namun, semua pihak tentu menyadari bahwa membuat suatu undang-undang tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Apalagi karena undang-undang tersebut diharapkan mendorong terjadinya perubahan besar di Nanggroe Aceh Darussalam. Setelah dilakukan pembahasan di Depdagri dan pembahasan antar departemen, RUU PA menjadi 40 Bab dan 206 Pasal yang terdiri dari 1446 Daftar Inventarisasi Masalah (DIM).
Secara substantif RUU PA dapat dikatakan sebagai kekhususan yang menyangkut Pemerintahan Daerah Aceh, yakni:
·           Kekhususan yang pertama, RUU PA akan menanggung beban sebagai turunan dari sebuah Nota Kesepahaman. Karena itu, hampir dapat dipastikan pembahasan substansi RUU ini akan berjalan lancar apabila tidak ada langkah-langkah khusus yang menyertainya.
·           Kekhususan yang kedua, sebagai bagian dari sebuah upaya perdamaian yang sekian lama dinantikan, proses yang inklusif menjadi prasyarat yang tak dapat ditolak lagi. Proses penyusunan dan pembahasan yang partisipatif dan transparan akan menjadi bagian dari proses perdamaian itu sendiri. Sebab, dalam proses itulah akan terkumpul masukan dan terjadi 'internalisasi' dan proses pemahaman substansi RUU, sehingga akan membantu masyarakat untuk memantau implementasi undang-undang itu nantinya. RUU PA juga menanggung beban sebagai bagian dari upaya membangun kembali Aceh, bukan hanya dalam arti fisik tetapi lebih jauh lagi, RUU ini juga akan menjadi sarana dalam membangun masyarakat (society) Aceh. Dan membangun Aceh di sini bukan hanya pasca-tsunami, tetapi membangun kembali masyarakat Aceh yang sudah sekian lama hidup dalam suasana represif.
·           Kekhususan yang ketiga, RUU PA mempunyai jangka waktu penyusunan yang tidak dapat ditawar lagi, yaitu hanya kurang lebih 6 (enam) bulan. Suatu jangka waktu yang singkat untuk sebuah RUU yang substansinya bahkan belum pernah dibicarakan sebelum Nota Kesepahaman ditandatangani pada 15 Agustus 2005.
Kekhawatiran banyak pihak akan terjadinya debat berkepanjangan dalam pembahasan RUU-PA tidak terbukti. Meski berjalan cukup lancar, namun draft UU-PA telah dapat diselesaikan pada tanggal 7 Juli 2006 di tingkat Pansus.Yang membanggakan, bahwa sepanjang pembahasan di tingkat Pansus, kehadiran anggota DPR sekitar 82% dan di tingkat Panja sekitar 90%. Bahkan tidak ada satu masalah pun yang diambil secara voting. Ini menunjukkan pemahaman yang demikian tinggi setiap anggota DPR dalam pengambilan keputusan yang diambil.
Tanggal 11 Juli 2006 menjadi hari yang bersejarah bagi rakyat Indonesia khususnya bagi masyarakat Aceh, ketika secara aklamasi RUU PA disetujui dalam Sidang Paripurna DPR RI. Tentunya ada beberapa masalah krusial yang menjadi pembahasan intensif, seperti masalah judul; kewenangan; bagi hasil; parpol lokal; pilkada; peradilan HAM dan lain-lain yang memerlukan penjelasan, sehingga tidak menimbulkan tafsir yang berbeda dari semangat yang mendasarinya.
Undang-Undang ini memiliki 2 (dua) sifat pokok, yaitu:
1.         Komprehensif, dalam arti mengatur hal ihwal penyelenggaraan pemerintahan di Aceh secara menyeluruh sehingga muatannya mencakup 40 Bab dan 273 Pasal.
2.         Tuntas, dalam arti memuat pengaturan secara rinci dan detail sehingga hanya diperlukan 2 (dua) Peraturan Pemerintah dan 3 (tiga) Peraturan Presiden sebagai pelaksanaan Undang-Undang, sedangkan daerah harus menyelesaikan 68 qanun.[2]
   UU Pemerintahan Aceh yang merupakan upaya maksimal dari proses politik, tentunya tidak adil kalau hanya dikritisi dari satu sisi yang tidak seluruhnya bisa diakomodasikan, tetapi akan adil bila melihat secara menyeluruh niat baik semua pihak yang ingin melihat Aceh menjadi lebih sejahtera. Perlu dicatat, bahwa beberapa kewenangan yang tidak ada dalam MoU maupun draf RUU PA usul DPRD, dimasukkan dalam UU ini. Oleh karena itu hendaknya kita melihat UU-PA ini dengan pandangan yang jernih demi masa depan Aceh yang lebih baik.
   Dalam hal ini terlihat bahwa Undang-Undang Pemerintahan Aceh dapat memberikan kewenangan yang cukup besar, baik di tingkatan pemerintahan provinsi maupun kabupaten/kota, terlebih jika dibandingkan dengan daerah lain di Indonesia. Yang menjadi tantangan ke depan sesungguhnya adalah bagaimana Pemerintah, Pemerintahan Aceh dan pemerintahan kabupaten/kota secara sinergis mampu mengoptimalkan segala peluang yang tergambar melalui kewenangan tersebut untuk dapat memakmurkan rakyat Aceh secara demokratis.
Kita berharap dengan disahkannya UU-PA ini dapat mempercepat terwujudnya kehidupan dan kesejahteraan masyarakat Aceh dalam perdamaian yang abadi. Masih diperlukan sebuah proses panjang untuk melaksanakan undang-undang ini, oleh sebab itu dibutuhkan partisipasi aktif dari seluruh komponen bangsa, khususnya rakyat Aceh.
   Mengakhiri ulasan, ada suatu hal yang menarik dalam ‘penciptaan’ UU-PA ini karena rupanya angka “11” menjadi “angka keramat” bagi masyarakat Aceh. Dilihat dari bagaimana tanggal 11 Juli 2006 menjadi hari yang bersejarah bagi masyarakat Aceh, di mana secara aklamasi RUU PA disetujui dalam Sidang Paripurna DPR RI. Pun ketika proses penomoran UU-PA, Sekretariat Negara “dibisiki” elemen masyarakat Aceh agar bila memungkinkan UU-PA diberi nomor “11” karena suatu alasan yang berkaitan dengan keyakinan masyarakat Aceh. Dan secara kebetulan pula, hal itu dapat terwujud karena sesuai kondisi yang ada pada saat itu UU-PA memang sebagai undang-undang urutan yang ke-11 yang lahir pada tahun 2006. Hal lain yang kemudian menggunakan angka “11” adalah pelaksanaan Pilkada Aceh yang baru saja diselenggarakan pada tanggal 11 Desember 2006 lalu.[3]





KESIMPULAN
Dari uraian di atas, tampaklah bahwa penataan otonomi khusus di Aceh merupakan salah satu upaya meretas hadirnya sebuah keadilan dan pencapaian tujuan otonomi daerah dalam kerangka NKRI, yaitu mencapai kesejahteraan secara demokratis di Nanggroe Aceh Darussalam. Penandatanganan Nota Kesepahaman antara Pemerintah RI dan GAM pada tanggal 15 Agustus 2005 di Helsinki, menjadi pintu pembuka bagi kedamaian di Aceh. Walaupun pada awalnya, penandatangan MoU sempat mendapat reaksi pro dan kontra dari berbagai macam elemen masyarakat, namun pada akhirnya dengan segala kelapangan dada semua sepakat, bahwa perdamaian abadi harus diwujudkan di Aceh.



[1] Provinsi Daerah Istimewa Aceh dengan Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999.
[2] UUD RI No 11 Tentang Pemerintahan Aceh Tahun 2006 Jakarta: CV Tamita Utama.
[3] Biromo Nayarko, Peneliti pada Sekretaris negara  RI

“KELEBIHAN ORANG JEPANG SEHINGGA BISA MENJADI NEGARA MAJU DI DUNIA.”



“KELEBIHAN ORANG JEPANG
SEHINGGA BISA MENJADI NEGARA MAJU
DI DUNIA.”
1. KERJA KERAS

Sudah menjadi rahasia umum bahwa bangsa Jepang adalah pekerja keras. Rata-rata jam kerja pegawai di Jepang adalah 2450 jam/tahun, sangat tinggi dibandingkan dengan Amerika (1957 jam/tahun), Inggris (1911 jam/tahun), Jerman (1870 jam/tahun), dan Perancis (1680 jam/tahun).

Seorang pegawai di Jepang bisa menghasilkan sebuah mobil dalam 9 hari, sedangkan pegawai di negara lain memerlukan 47 hari untuk membuat mobil yang bernilai sama. Seorang pekerja Jepang boleh dikatakan bisa melakukan pekerjaan yang biasanya dikerjakan oleh 5-6 orang. Pulang cepat adalah sesuatu yang boleh dikatakan “agak memalukan” di Jepang, dan menandakan bahwa pegawai tersebut termasuk “yang tidak dibutuhkan” oleh perusahaan.

Di kampus, professor juga biasa pulang malam (tepatnya pagi ), membuat mahasiswa nggak enak pulang duluan. Fenomena Karoshi (mati karena kerja keras) mungkin hanya ada di Jepang. Sebagian besar literatur menyebutkan bahwa dengan kerja keras inilah sebenarnya kebangkitan dan kemakmuran Jepang bisa tercapai.

2. MALU

Malu adalah budaya leluhur dan turun temurun bangsa Jepang. Harakiri (bunuh diri dengan menusukkan pisau ke perut) menjadi ritual sejak era samurai, yaitu ketika mereka kalah dan pertempuran. Masuk ke dunia modern, wacananya sedikit berubah ke fenomena “mengundurkan diri” bagi para pejabat (mentri, politikus, dsb) yang terlibat masalah korupsi atau merasa gagal menjalankan tugasnya.

Efek negatifnya mungkin adalah anak-anak SD, SMP yang kadang bunuh diri, karena nilainya jelek atau tidak naik kelas. Karena malu jugalah, orang Jepang lebih senang memilih jalan memutar daripada mengganggu pengemudi di belakangnya dengan memotong jalur di tengah jalan.

Bagaimana mereka secara otomatis langsung membentuk antrian dalam setiap keadaan yang membutuhkan, pembelian ticket kereta, masuk ke stadion untuk nonton sepak bola, di halte bus, bahkan untuk memakai toilet umum di stasiun-stasiun, mereka berjajar rapi menunggu giliran. Mereka malu terhadap lingkungannya apabila mereka melanggar peraturan ataupun norma yang sudah menjadi kesepakatan umum.

3. HIDUP HEMAT
Orang Jepang memiliki semangat hidup hemat dalam keseharian. Sikap anti konsumerisme berlebihan ini nampak dalam berbagai bidang kehidupan. Di masa awal mulai kehidupan di Jepang, saya sempat terheran-heran dengan banyaknya orang Jepang ramai belanja di supermarket pada sekitar jam 19:30. Selidik punya selidik, ternyata sudah menjadi hal yang biasa bahwa supermarket di Jepang akan memotong harga sampai separuhnya pada waktu sekitar setengah jam sebelum tutup.

Seperti diketahui bahwa Supermarket di Jepang rata-rata tutup pada pukul 20:00. Contoh lain adalah para ibu rumah tangga yang rela naik sepeda menuju toko sayur agak jauh dari rumah, hanya karena lebih murah 20 atau 30 yen. Banyak keluarga Jepang yang tidak memiliki mobil, bukan karena tidak mampu, tapi karena lebih hemat menggunakan bus dan kereta untuk bepergian.

Termasuk saya dulu sempat berpikir kenapa pemanas ruangan menggunakan minyak tanah yang merepotkan masih digandrungi, padahal sudah cukup dengan AC yang ada mode dingin dan panas. Alasannya ternyata satu, minyak tanah lebih murah daripada listrik. Professor Jepang juga terbiasa naik sepeda tua ke kampus, bareng dengan mahasiswa-mahasiswa nya.

4. LOYALITAS

Loyalitas membuat sistem karir di sebuah perusahaan berjalan dan tertata dengan rapi. Sedikit berbeda dengan sistem di Amerika dan Eropa, sangat jarang orang Jepang yang berpindah-pindah pekerjaan. Mereka biasanya bertahan di satu atau dua perusahaan sampai

pensiun. Ini mungkin implikasi dari Industri di Jepang yang kebanyakan hanya mau menerima fresh graduate, yang kemudian mereka latih dan didik sendiri sesuai dengan bidang garapan (core business) perusahaan. Kota Hofu mungkin sebuah contoh nyata. Hofu dulunya adalah kota industri yang sangat tertinggal dengan penduduk yang terlalu padat.

Loyalitas penduduk untuk tetap bertahan (tidak pergi ke luar kota) dan punya komitmen bersama untuk bekerja keras siang dan malam akhirnya mengubah Hofu menjadi kota makmur dan modern. Bahkan saat ini kota industri terbaik dengan produksi kendaraan mencapai 160.000 per tahun.

5. INOVASI 

Jepang bukan bangsa penemu, tapi orang Jepang mempunyai kelebihan dalam meracik temuan orang dan kemudian memasarkannya dalam bentuk yang diminati oleh masyarakat. Menarik membaca kisah Akio Morita yang mengembangkan Sony Walkman yang melegenda itu. Cassete Tape tidak ditemukan oleh Sony, patennya dimiliki oleh perusahaan Phillip Electronics.

Tapi yang berhasil mengembangkan dan membundling model portable sebagai sebuah produk yang booming selama puluhan tahun adalah Akio Morita, founder dan CEO Sony pada masa itu. Sampai tahun 1995, tercatat lebih dari 300 model walkman lahir dan jumlah total produksi mencapai 150 juta produk.

Teknik perakitan kendaraan roda empat juga bukan diciptakan orang Jepang, patennya dimiliki orang Amerika. Tapi ternyata Jepang dengan inovasinya bisa mengembangkan industri perakitan kendaraan yang lebih cepat dan murah. Mobil yang dihasilkan juga relatif lebih murah, ringan, mudah dikendarai, mudah dirawat dan lebih hemat bahan bakar.

Perusahaan Matsushita Electric yang dulu terkenal dengan sebutan “maneshita” (peniru) punya legenda sendiri dengan mesin pembuat rotinya. Inovasi dan ide dari seorang engineernya bernama Ikuko Tanaka yang berinisiatif untuk meniru teknik pembuatan roti dari sheef di Osaka International Hotel, menghasilkan karya mesin pembuat roti (home bakery) bermerk Matsushita yang terkenal itu.

6. PANTANG MENYERAH

Sejarah membuktikan bahwa Jepang termasuk bangsa yang tahan banting dan pantang menyerah. Puluhan tahun dibawah kekaisaran Tokugawa yang menutup semua akses ke luar negeri, Jepang sangat tertinggal dalam teknologi. Ketika restorasi Meiji (meiji ishin) datang, bangsa Jepang cepat beradaptasi dan menjadi fast-learner. Kemiskinan sumber daya alam juga tidak membuat Jepang menyerah.

Tidak hanya menjadi pengimpor minyak bumi, batubara, biji besi dan kayu, bahkan 85% sumber energi Jepang berasal dari negara lain termasuk Indonesia. Kabarnya kalau Indonesia menghentikan pasokan minyak bumi, maka 30% wilayah Jepang akan gelap gulita Rentetan bencana terjadi di tahun 1945, dimulai dari bom atom di Hiroshima dan Nagasaki, disusul dengan kalah perangnya Jepang, dan ditambahi dengan adanya gempa bumi besar di Tokyo.

Ternyata Jepang tidak habis. Dalam beberapa tahun berikutnya Jepang sudah berhasil membangun industri otomotif dan bahkan juga kereta cepat (shinkansen) . Mungkin cukup menakjubkan bagaimana Matsushita Konosuke yang usahanya hancur dan hampir tersingkir dari bisnis peralatan elektronik di tahun 1945 masih mampu merangkak, mulai dari nol untuk membangun industri sehingga menjadi kerajaan bisnis di era kekinian.

Akio Morita juga awalnya menjadi tertawaan orang ketika menawarkan produk Cassete Tapenya yang mungil ke berbagai negara lain. Tapi akhirnya melegenda dengan Sony Walkman-nya. Yang juga cukup unik bahwa ilmu dan teori dimana orang harus belajar dari kegagalan ini mulai diformulasikan di Jepang dengan nama shippaigaku (ilmu kegagalan). Kapan-kapan saya akan kupas lebih jauh tentang ini

7. BUDAYA BACA 

Jangan kaget kalau anda datang ke Jepang dan masuk ke densha (kereta listrik), sebagian besar penumpangnya baik anak-anak maupun dewasa sedang membaca buku atau koran. Tidak peduli duduk atau berdiri, banyak yang memanfaatkan waktu di densha untuk membaca. Banyak penerbit yang mulai membuat man-ga (komik bergambar) untuk materi-materi kurikulum sekolah baik SD, SMP maupun SMA.

Pelajaran Sejarah, Biologi, Bahasa, dsb disajikan dengan menarik yang membuat minat baca masyarakat semakin tinggi. Saya pernah membahas masalah komik pendidikan di blog ini. Budaya baca orang Jepang juga didukung oleh kecepatan dalam proses penerjemahan buku-buku asing (bahasa inggris, perancis, jerman, dsb).

Konon kabarnya legenda penerjemahan buku-buku asing sudah dimulai pada tahun 1684, seiring dibangunnya institut penerjemahan dan terus berkembang sampai jaman modern. Biasanya terjemahan buku bahasa Jepang sudah tersedia dalam beberapa minggu sejak buku asingnya diterbitkan. Saya biasa membeli buku literatur terjemahan bahasa Jepang karena harganya lebih murah daripada buku asli (bahasa inggris).

8. KERJASAMA KELOMPOK

Budaya di Jepang tidak terlalu mengakomodasi kerja-kerja yang terlalu bersifat individualistik. Termasuk klaim hasil pekerjaan, biasanya ditujukan untuk tim atau kelompok tersebut. Fenomena ini tidak hanya di dunia kerja, kondisi kampus dengan lab penelitiannya juga seperti itu, mengerjakan tugas mata kuliah biasanya juga dalam bentuk kelompok. Kerja dalam kelompok mungkin salah satu kekuatan terbesar orang Jepang.

Ada anekdot bahwa “1 orang professor Jepang akan kalah dengan satu orang professor Amerika, hanya 10 orang professor Amerika tidak akan bisa mengalahkan 10 orang professor Jepang yang berkelompok” . Musyawarah mufakat atau sering disebut dengan “rin-gi” adalah ritual dalam kelompok. Keputusan strategis harus dibicarakan dalam “rin-gi”.

9. MANDIRI 

Sejak usia dini anak-anak dilatih untuk mandiri. Irsyad, anak saya yang paling gede sempat merasakan masuk TK (Yochien) di Jepang. Dia harus membawa 3 tas besar berisi pakaian ganti, bento (bungkusan makan siang), sepatu ganti, buku-buku, handuk dan sebotol besar minuman yang menggantung di lehernya.

Di Yochien setiap anak dilatih untuk membawa perlengkapan sendiri, dan bertanggung jawab terhadap barang miliknya sendiri. Lepas SMA dan masuk bangku kuliah hampir sebagian besar tidak meminta biaya kepada orang tua.Kalaupun kehabisan uang, mereka “meminjam” uang ke orang tua yang itu nanti mereka kembalikan di bulan berikutnya.

10. JAGA TRADISI

Perkembangan teknologi dan ekonomi, tidak membuat bangsa Jepang kehilangan tradisi dan budayanya. Budaya perempuan yang sudah menikah untuk tidak bekerja masih ada dan hidup sampai saat ini. Budaya minta maaf masih menjadi reflek orang Jepang. Kalau suatu hari anda naik sepeda di Jepang dan menabrak pejalan kaki , maka jangan kaget kalau yang kita tabrak malah yang minta maaf duluan.

Sampai saat ini orang Jepang relatif menghindari berkata “tidak” untuk apabila mendapat tawaran dari orang lain. Jadi kita harus hati-hati dalam pergaulan dengan orang Jepang karena “hai” belum tentu “ya” bagi orang Jepang Pertanian merupakan tradisi leluhur dan aset penting di Jepang.
Persaingan keras karena masuknya beras Thailand dan Amerika yang murah, tidak menyurutkan langkah pemerintah Jepang untuk melindungi para petaninya. Kabarnya tanah yang dijadikan lahan pertanian mendapatkan pengurangan pajak yang signifikan, termasuk beberapa insentif lain untuk orang-orang yang masih bertahan di dunia pertanian. Pertanian Jepang merupakan salah satu yang tertinggi di dunia.

sumber : http://d1399.wordpress.com/2012/05/13/kelebihan-orang-jepang-yang-patut-di-teladani/









































































Minggu, 14 Oktober 2012

Rasulullah SAW

Bayangkan apabila Rasulullah dengan seijin Allah tiba-tiba muncul mengetuk pintu rumah kita. Beliau datang dengan tersenyum dan muka bersih di muka pintu rumah kita, Apa yang akan kita lakukan? Mestinya kita akan sangat berbahagia, memeluk beliau erat-erat dan lantas mempersilahkan beliau masuk ke ruang tamu kita. Kemudian kita tentunya akan meminta dengan sangat agar Rasulullah sudi menginap beberapa hari di rumah kita. Beliau tentu tersenyum........

Tapi barangkali kita meminta pula Rasulullah menunggu sebentar di depan pintu karena kita teringat Video CD rated R18+ yang ada di ruang tengah dan kita tergesa-gesa memindahkan dahulu video tersebut ke dalam.

Beliau tentu tetap tersenyum........

Atau barangkali kita teringat akan lukisan wanita setengah telanjang yang kita pajang di ruang tamu kita, sehingga kita terpaksa juga memindahkannya ke belakang secara tergesa-gesa.
Barangkali kita akan memindahkan lafal Allah dan Muhammad yang ada di ruang samping dan kita meletakkannya di ruang tamu.

Beliau tentu tersenyum.......

Bagaimana bila kemudian Rasulullah bersedia menginap di rumah kita? Barangkali kita teringat bahwa kita lebih hapal lagu-lagu barat daripada menghapal Shalawat kepada Rasulullah SAW.
Barangkali kita menjadi malu bahwa kita tidak mengetahui sedikitpun sejarah Rasulullah SAW karena kita lupa dan lalai mempelajarinya.

Beliau tentu tersenyum........

Barangkali kita menjadi malu bahwa kita tidak mengetahui satupun nama keluarga Rasulullah dan sahabatnya tetapi hapal di luar kepala mengenai anggota Indonesian Idols atau AFI.
Barangkali kita terpaksa harus menyulap satu kamar mandi menjadi ruang shalat. Atau barangkali kita teringat bahwa perempuan di rumah kita tidak memiliki koleksi pakaian yang pantas untuk berhadapan kepada Rasulullah.

Beliau tentu tersenyum........

Belum lagi koleksi buku-buku kita. Belum lagi koleksi kaset kita. Belum lagi koleksi karaoke kita. Kemana kita harus menyingkirkan semua koleksi tersebut demi menghormati junjungan kita?
Barangkali kita menjadi malu diketahui junjungan kita bahwa kita tidak pernah ke masjid meskipun adzan berbunyi.

Beliau tentu tersenyum........

Barangkali kita menjadi malu karena pada saat Maghrib keluarga kita malah sibuk di depan TV.
Barangkali kita menjadi malu karena kita menghabiskan hampir seluruh waktu kita untuk mencari kesenangan duniawi.
Barangkali kita menjadi malu karena keluarga kita tidak pernah menjalankan shalat sunnah.
Barangkali kita menjadi malu karena keluarga kita sangat jarang membaca Al-Qur'an.
Barangkali kita menjadi malu bahwa kita tidak mengenal tetangga-tetangga kita.

Beliau tentu tersenyum.......

Barangkali kita menjadi malu jika Rasulullah menanyakan kepada kita siapa nama tukang sampah yang setiap hari lewat di depan rumah kita.
Barangkali kita menjadi malu jika Rasulullah bertanya tentang nama dan alamat tukang penjaga masjid di kampung kita.

Betapa senyum beliau masih ada di situ........

Bayangkan apabila Rasulullah tiba-tiba muncul di depan rumah kita. Apa yang akan kita lakukan? Masihkah kita memeluk junjungan kita dan mempersilahkan beliau masuk dan menginap di rumah kita?

Ataukah akhirnya dengan berat hati, kita akan menolak beliau berkunjung ke rumah karena hal itu akan sangat membuat kita repot dan malu.

Maafkan kami ya Rasulullah.........

Masihkah beliau tersenyum?

Senyum pilu, senyum sedih dan senyum getir........

Oh betapa memalukannya kehidupan kita saat ini di mata Rasulullah........

Pikiran yang terbuka dan mulut yang tertutup merupakan suatu kombinasi kebahagiaan.

Jangan jadikan Penghalang sebagai hambatan, tetapi jadikan sebagai pendorong aktifitas.

Siapa yang mendiamkan saja kejahatan merajalela, dia itu membantu kejahatan!

Sehalus-halusnya musibah adalah ketika kedekatan kita denganNya perlahan-lahan terenggut dan itu biasanya ditandai dengan menurunnya kualitas ibadah.