OTONOMI DAN
PEMERINTAHAN ACEH
Perjalanan Terbentuknya Undang-Undang tentang
Perjalanan Terbentuknya Undang-Undang tentang
Pemerintahan Aceh
Konflik yang berkepanjangan dan datangnya damai di serambi mekkah telah memberikan peluang bagi Aceh di dalam membangun masa depan yang lebih baik, hadirnya UUPA telah memberikan peluang untuk membangun Aceh yang lebih baik di masa depan. Aceh diberikan kewenangan untuk memiliki beberapa kewenangan di dalam membangun pola hubungan dengan pemerintahan Indonesia, misalnya terkait dengan Pasal 8 di UUPA yang memerintahkan pemerintah pusat untuk melakukan negosiasi dan konsultasi dengan pemerintahan Aceh terkait dengan tiga hal yaitu:
1)
Rencana persetujuan internasional yang
berkaitan langsung dengan Pemerintahan Aceh yang dibuat oleh Pemerintah
dilakukan dengan konsultasi dan pertimbangan DPRA.
2)
Rencana pembentukan undang-undang oleh Dewan
Perwakilan Rakyat yang berkaitan langsung dengan Pemerintahan Aceh dilakukan
dengan konsultasi dan pertimbangan DPRA. Dan
3)
Kebijakan administratif yang berkaitan langsung
dengan Pemerintahan Aceh yang akan dibuat oleh Pemerintah dilakukan dengan
konsultasi dan pertimbangan Gubernur. Disamping itu Pemerintah juga harus
mendapat persetujuan Gubernur untuk mengangkat kepala Kepolisian di Aceh dan
Kepala Kejaksaan.
Disamping itu Aceh memiliki
kewenangan-kewenangan di dalam pengelolaan sumber daya alam, misalnya tekait
dengan pengelolan minyak dan gas bumi, dimana amanat dari Pasal 160 ayat (1) UU
No. 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh yang menyatakan bahwa “Pemerintah
dan Pemerintah Aceh melakukan pengelolaan bersama sumber daya alam minyak dan
gas bumi yang berada di darat dan laut di wilayah kewenangan Aceh”.
Sejarah tentang
terbentuknya uu pa tersebut adalah menurut beberapa pemikiran yaitu
Sistem pemerintahan
Negara Kesatuan Republik Indonesia menurut UUD 1945 mengakui dan menghormati
satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus, atau bersifat istimewa.
Kenyataan sejarah menunjukkan bahwa Aceh merupakan satuan pemerintahan daerah
yang bersifat khusus atau bersifat istimewa terkait dengan salah satu karakter
khas sejarah perjuangan masyarakat Aceh yang memiiiki ketahanan yang tinggi.
Ketahanan dan daya juang yang tinggi itu
bersumber dari pandangan hidup yang berlandaskan syariat Islam yang kuat
sehingga Aceh menjadi daerah modal bagi perjuangan dalam merebut dan
mempertahankan kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pandangan Hidup
yang berlandaskan syariat Islam itulah yang kemudian dijadikan dan diberlakukan
sebagai tatanan hidup dalam bermasyarakat saat ini.
Hal demikian kemudian
menjadi pertimbangan penyelenggaraan keistimewaan bagi Provinsi Daerah Istimewa
Aceh dengan Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999.[1]
Namun, dalam
implementasinya, UU tersebut dipandang kurang memberikan keadilan di dalam
kehidupan. Bagi masyarakat Aceh kondisi demikian belum dapat mengakhiri
pergolakan masyarakat di Provinsi DI Aceh yang dimanifestasikan dalam berbagai
bentuk reaksi. Respons Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat RI melahirkan
salah satu solusi politik bagi penyelenggaraan persoalan Aceh, berupa
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 yang mengatur penyelenggaraan otonomi khusus
bagi Provinsi DI Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
Dalam pelaksanaannya,
undang-undang tersebut juga belum cukup memadai dalam menampung aspirasi dan
kepentingan pembangunan ekonomi dan keadilan politik. Hal demikian mendorong
lahirnya undang-undang tentang Pemerintahan Aceh dengan prinsip otonomi
seluas-luasnya. Bencana alam, gempa bumi, dan tsunami yang terjadi di Aceh pada
akhir Desember 2004, telah menumbuhkan solidaritas seluruh potensi bangsa untuk
membangun kembali masyarakat dan wilayah Aceh. Begitu pula telah tumbuh
kesadaran yang kuat dari Pemerintah dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) untuk
menyelesaikan konflik secara damai, menyeluruh, berkelanjutan, serta
bermartabat yang permanen dalam kerangka NKRI.
Dari uraian di atas,
tampaklah bahwa penataan otonomi khusus di Aceh merupakan salah satu upaya
meretas hadirnya sebuah keadilan dan pencapaian tujuan otonomi daerah dalam kerangka
NKRI, yaitu mencapai kesejahteraan secara demokratis di Nanggroe Aceh Darussalam.
Penandatanganan Nota Kesepahaman antara Pemerintah RI dan GAM pada tanggal 15
Agustus 2005 di Helsinki, menjadi pintu pembuka bagi kedamaian di Aceh.
Walaupun pada awalnya, penandatangan MoU sempat mendapat reaksi pro dan kontra
dari berbagai macam elemen masyarakat, namun pada akhirnya dengan segala
kelapangan dada semua sepakat, bahwa perdamaian abadi harus diwujudkan di Aceh.
Ada enam butir utama
isi Nota Kesepahaman yang telah dicapai yaitu: penyelenggaraan pemerintahan di
Aceh; hak asasi manusia; amnesti dan reintegrasi ke dalam masyarakat;
pengaturan keamanan; pembentukan Misi Monitoring Aceh (AMM) dan penyelesaian
perselisihan. Setelah hampir semua butir-butir nota kepahaman dilaksanakan,
maka penyusunan RUU Pemerintahan Aceh mendapat perhatian dari seluruh komponen
masyarakat. Bagi masyarakat Aceh, yang menjadi pertanyaan adalah apakah
butir-butir yang terdapat dalam Nota Kesepahaman segera dapat ditindaklanjuti dengan
undang-undang, sedang bagi masyarakat di luar Aceh akan melihat sejauh mana
keistimewaan atau kekhususan yang diberikan kepada masyarakat Aceh.
Kalau kita kembali
mencermati proses perjalanan penyusunan dan pembahasan Rancangan Undang-Undang
Pemerintahan Aceh (UU-PA) dengan jelas terlihat segala upaya telah dilaksanakan
secara serius dengan memperhatikan seluruh aspirasi masyarakat, khususnya yang
berada di wilayah Aceh. Terlepas masih adanya kekurangan, namun semangat yang
mendasari Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UU-PA) inilah yang patut menjadi
acuan bersama, yakni membangun Aceh yang lebih berkeadilan, sejahtera,
demokratis dan bermartabat.
UU Pemerintahan Aceh
adalah undang-undang yang unik dalam proses penyusunannya, karena melibatkan
berbagai elemen masyarakat Aceh secara luas, bahkan menarik perhatian dunia.
Pihak-pihak yang turut berpartisipasi meliputi masyarakat Aceh yang berasal
dari pemerintah daerah, kalangan LSM, akademisi, wanita, ulama, dan anggota
GAM. Sebagai sebuah produk hukum baru yang lahir dari konsekuensi adanya
perubahan kebijakan politik antara Pemerintah RI dan GAM, maka RUU ini harus
dapat mengakomodasi tuntutan kedua belah pihak secara adil.
Pada awalnya, tak
kurang dari enam versi naskah RUU PA didiskusikan di Aceh, yaitu dari Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Nanggroe Aceh Darussalam (DPRD NAD), Pemerintah Daerah
(Pemda NAD), Universitas Syiah Kuala, Universitas Islam Negeri (IAIN) Arraniry,
Acehnese Civil Society Task Force (ACSTF), dan dari GAM. DPRD NAD pun
berinisiatif mengadakan serangkaian diskusi dan dialog dengan berbagai pihak
untuk bersama-sama membicarakan RUU ini. Seluruh pihak yang mempunyai naskah
RUU dan berkepentingan dengan RUU ini diundang untuk berdiskusi. Mulai dari
kelompok ulama, sampai dengan organisasi perempuan di Aceh.
Melihat proses yang
begitu dinamis dari berbagai pihak ini, timbul dorongan dari komponen
masyarakat sipil untuk membentuk Tim Perumus Bersama yang terdiri dari berbagai
komponen pemangku kepentingan dan bertugas menyepakati satu naskah bersama yang
dapat mewakili berbagai elemen di Aceh untuk disampaikan ke Jakarta. Tanggal
22-30 November 2005 pun menjadi suatu fase penting dalam pembicaraan ini.
Dalam kurun waktu seminggu tersebut terjadi
perdebatan, tekanan, dan tarik menarik untuk mendorong adanya satu draf bersama
dari Aceh. DPRD NAD dianggap sebagai pihak yang mempunyai kapasitas politik
yang strategis untuk menjembatani proses partisipasi seperti ini, sehingga
rapat paripurna DPRD NAD pun dijadikan momentum penting untuk menandai munculnya
satu draf bersama ini. Pada malam 29 November 2005 terjadilah pembahasan yang
intensif antara DPRD NAD, Pemda, berbagai komponen masyarakat sipil, dan GAM.
Maka lahirlah draf keenam dari DPRD NAD yang secara maksimal berupaya
mengakomodasi seluruh kepentingan peserta pembahas pada saat itu. Draf yang
terdiri atas 38 Bab dan 209 pasal inilah yang diserahkan kepada Departemen
Dalam Negeri (Depdagri) pada 30 November 2005. Setelah penyerahan secara resmi,
diadakan pula berbagai diskusi formal dan informal antara berbagai lembaga dan
komponen masyarakat di Aceh yang menyepakati RUU itu dengan berbagai lembaga
politik di Jakarta untuk mendorong substansi yang telah disepakati bersama
tersebut.
Sementara itu, ada
tekanan yang tinggi mengenai batas waktu pembahasan. Pemerintah pada awalnya
meminta agar ada naskah yang masuk pada Oktober 2005 agar tenggat waktu 31
Maret 2006 dapat dipenuhi. Namun, semua pihak tentu menyadari bahwa membuat
suatu undang-undang tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Apalagi karena
undang-undang tersebut diharapkan mendorong terjadinya perubahan besar di
Nanggroe Aceh Darussalam. Setelah dilakukan pembahasan di Depdagri dan
pembahasan antar departemen, RUU PA menjadi 40 Bab dan 206 Pasal yang terdiri
dari 1446 Daftar Inventarisasi Masalah (DIM).
Secara substantif RUU
PA dapat dikatakan sebagai kekhususan yang menyangkut Pemerintahan Daerah Aceh,
yakni:
·
Kekhususan yang
pertama, RUU PA akan menanggung beban sebagai turunan dari sebuah Nota
Kesepahaman. Karena itu, hampir dapat dipastikan pembahasan substansi RUU ini
akan berjalan lancar apabila tidak ada langkah-langkah khusus yang
menyertainya.
·
Kekhususan yang kedua,
sebagai bagian dari sebuah upaya perdamaian yang sekian lama dinantikan, proses
yang inklusif menjadi prasyarat yang tak dapat ditolak lagi. Proses penyusunan
dan pembahasan yang partisipatif dan transparan akan menjadi bagian dari proses
perdamaian itu sendiri. Sebab, dalam proses itulah akan terkumpul masukan dan
terjadi 'internalisasi' dan proses pemahaman substansi RUU, sehingga akan
membantu masyarakat untuk memantau implementasi undang-undang itu nantinya. RUU
PA juga menanggung beban sebagai bagian dari upaya membangun kembali Aceh,
bukan hanya dalam arti fisik tetapi lebih jauh lagi, RUU ini juga akan menjadi
sarana dalam membangun masyarakat (society) Aceh. Dan membangun Aceh di sini
bukan hanya pasca-tsunami, tetapi membangun kembali masyarakat Aceh yang sudah
sekian lama hidup dalam suasana represif.
·
Kekhususan yang ketiga,
RUU PA mempunyai jangka waktu penyusunan yang tidak dapat ditawar lagi, yaitu
hanya kurang lebih 6 (enam) bulan. Suatu jangka waktu yang singkat untuk sebuah
RUU yang substansinya bahkan belum pernah dibicarakan sebelum Nota Kesepahaman
ditandatangani pada 15 Agustus 2005.
Kekhawatiran banyak
pihak akan terjadinya debat berkepanjangan dalam pembahasan RUU-PA tidak
terbukti. Meski berjalan cukup lancar, namun draft UU-PA telah dapat
diselesaikan pada tanggal 7 Juli 2006 di tingkat Pansus.Yang membanggakan,
bahwa sepanjang pembahasan di tingkat Pansus, kehadiran anggota DPR sekitar 82%
dan di tingkat Panja sekitar 90%. Bahkan tidak ada satu masalah pun yang
diambil secara voting. Ini menunjukkan pemahaman yang demikian tinggi setiap
anggota DPR dalam pengambilan keputusan yang diambil.
Tanggal 11 Juli 2006
menjadi hari yang bersejarah bagi rakyat Indonesia khususnya bagi masyarakat
Aceh, ketika secara aklamasi RUU PA disetujui dalam Sidang Paripurna DPR RI.
Tentunya ada beberapa masalah krusial yang menjadi pembahasan intensif, seperti
masalah judul; kewenangan; bagi hasil; parpol lokal; pilkada; peradilan HAM dan
lain-lain yang memerlukan penjelasan, sehingga tidak menimbulkan tafsir yang
berbeda dari semangat yang mendasarinya.
Undang-Undang ini
memiliki 2 (dua) sifat pokok, yaitu:
1.
Komprehensif, dalam
arti mengatur hal ihwal penyelenggaraan pemerintahan di Aceh secara menyeluruh
sehingga muatannya mencakup 40 Bab dan 273 Pasal.
2.
Tuntas, dalam arti
memuat pengaturan secara rinci dan detail sehingga hanya diperlukan 2 (dua)
Peraturan Pemerintah dan 3 (tiga) Peraturan Presiden sebagai pelaksanaan
Undang-Undang, sedangkan daerah harus menyelesaikan 68 qanun.[2]
UU Pemerintahan Aceh yang merupakan upaya maksimal dari proses
politik, tentunya tidak adil kalau hanya dikritisi dari satu sisi yang tidak
seluruhnya bisa diakomodasikan, tetapi akan adil bila melihat secara menyeluruh
niat baik semua pihak yang ingin melihat Aceh menjadi lebih sejahtera. Perlu
dicatat, bahwa beberapa kewenangan yang tidak ada dalam MoU maupun draf RUU PA
usul DPRD, dimasukkan dalam UU ini. Oleh karena itu hendaknya kita melihat
UU-PA ini dengan pandangan yang jernih demi masa depan Aceh yang lebih baik.
Dalam hal ini terlihat bahwa Undang-Undang Pemerintahan Aceh dapat
memberikan kewenangan yang cukup besar, baik di tingkatan pemerintahan provinsi
maupun kabupaten/kota, terlebih jika dibandingkan dengan daerah lain di
Indonesia. Yang menjadi tantangan ke depan sesungguhnya adalah bagaimana
Pemerintah, Pemerintahan Aceh dan pemerintahan kabupaten/kota secara sinergis
mampu mengoptimalkan segala peluang yang tergambar melalui kewenangan tersebut
untuk dapat memakmurkan rakyat Aceh secara demokratis.
Kita berharap dengan
disahkannya UU-PA ini dapat mempercepat terwujudnya kehidupan dan kesejahteraan
masyarakat Aceh dalam perdamaian yang abadi. Masih diperlukan sebuah proses
panjang untuk melaksanakan undang-undang ini, oleh sebab itu dibutuhkan
partisipasi aktif dari seluruh komponen bangsa, khususnya rakyat Aceh.
Mengakhiri ulasan, ada suatu hal yang menarik dalam ‘penciptaan’
UU-PA ini karena rupanya angka “11” menjadi “angka keramat” bagi masyarakat
Aceh. Dilihat dari bagaimana tanggal 11 Juli 2006 menjadi hari yang bersejarah
bagi masyarakat Aceh, di mana secara aklamasi RUU PA disetujui dalam Sidang
Paripurna DPR RI. Pun ketika proses penomoran UU-PA, Sekretariat Negara
“dibisiki” elemen masyarakat Aceh agar bila memungkinkan UU-PA diberi nomor
“11” karena suatu alasan yang berkaitan dengan keyakinan masyarakat Aceh. Dan
secara kebetulan pula, hal itu dapat terwujud karena sesuai kondisi yang ada
pada saat itu UU-PA memang sebagai undang-undang urutan yang ke-11 yang lahir
pada tahun 2006. Hal lain yang kemudian menggunakan angka “11” adalah
pelaksanaan Pilkada Aceh yang baru saja diselenggarakan pada tanggal 11 Desember
2006 lalu.[3]
KESIMPULAN
Dari uraian di atas,
tampaklah bahwa penataan otonomi khusus di Aceh merupakan salah satu upaya
meretas hadirnya sebuah keadilan dan pencapaian tujuan otonomi daerah dalam
kerangka NKRI, yaitu mencapai kesejahteraan secara demokratis di Nanggroe Aceh
Darussalam. Penandatanganan Nota Kesepahaman antara Pemerintah RI dan GAM pada
tanggal 15 Agustus 2005 di Helsinki, menjadi pintu pembuka bagi kedamaian di
Aceh. Walaupun pada awalnya, penandatangan MoU sempat mendapat reaksi pro dan
kontra dari berbagai macam elemen masyarakat, namun pada akhirnya dengan segala
kelapangan dada semua sepakat, bahwa perdamaian abadi harus diwujudkan di Aceh.